Saturday 27 September 2014

0 KELUARGA BAHAGIA/HAPPY FAMILY

 KELUARGA BAHAGIA/HAPPY FAMILY



Memiliki keluarga bahagia adalah cita-cita setiap orang. Namun memiliki Keluarga Bahagia itu tidaklah sesederhana meminta sesuatu yang murah. Ada hukum kepantasan. Ada sesuatu yang harus dibayar, yang tak cukup dibayar dengan uang. Sesuatu yang dibayar dengan pelaksanaan peran kita di dalamnya dengan baik.

Lalu apa kah hal yang menakutkan bagi saya untuk memiliki Keluarga Bahagia?

Nah… Apakah goa menakutkan itu – trauma masa kecil saya – membuat saya berhenti untuk memiliki Keluarga yang Bahagia? Tentu saja tidak. Saya tetap membangun hubungan dengan seorang wanita, sebagai pria dari keluarga normal lainnya. Saya pun menyadari dan memaklumi, di dalam goa menakutkan ini juga memiliki banyak lorong-lorong nenyeramkan. Kekecewaan yang saya dapatkan ketika menjalin hubungan, yang berpotensi menjadi trauma-trauma baru. Namun di sini saya belajar manajemen resiko. Bagaimana caranya?

Dengan memahami tentang berlakunya “Hukum Tarik Menarik”. Kita menarik orang yang memiliki getaran sama dengan getaran yang kita pancarkan ke alam semesta. Berakhirnya sebuah hubungan merupakan indikasi bahwa pada mulanya kami berada dalam resonansi yang sama. Namun seiring dengan kami yang terus tumbuh, dan kami pun memiliki kecepatan tumbuh yang berbeda, maka aka tercipta suatu jarak yang tentu saja akan menyebabkan adanya perbedaan vibrasi, sehingga kami tidak saling tarik-menarik lagi.

Bagi yang menyadari, sebenarnya kedua-duanya bisa mengupayakan untuk tetap ada di resonansi yang sama. Caranya dengan: Yang jalannya terlalu cepat, melambatlah sejenak. Yang jalannya terlalu lambat, larilah. Dua-duanya harus punya komitmen. Kalau yang berkomitmen Cuma satu pihak? Ya kagak bisa keulessssss….

Jadi kalau habis putus ya simple aja. Ohhhh… Kami sudah beda resonansi. Beda kelas. Kalau dipaksain udah ga enak lagi.

Berita bagusnya, Hukum Kelimpahan juga berlaku kok. There is enough pie for everyone. Ada kue yang cukup untuk setiap orang. Setiap orang ada pasangannya. Kalau yang masih sendirian yak karena belum ketemu saja. Ga perlu memaksakan diri untuk cari yang baru hanya karena kita sendiri.

Sendiri dan berpasangan itu punya potensi sama-sama membuat kita menderita maupun bahagia. Goalnya bukanlah berpasangan, melainkan berpasangan dengan seseorang yang memiliki resonansi sama.

Ketakutan, atau rasa tidak nyaman ketika menyandang gelar “single” indikasi bahwa kita tidak nyaman dengan diri kita sendiri. Bermasalah dengan diri sendiri. Lemah dan memerlukan orang lain untuk membuat kita bahagia. Ketergantungan pada orang lain. It's not okay.

Solusinya apa? Cintailah diri sendiri. Kembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik. . Jadilah sahabat bagi diri sendiri. Dan bila seseorang nyaman dengan diri sendiri, dia akan tetap berbahagia saat sendirian, dan akan membahagiakan saat ia berpasangan.

Dan itu yang tengah saya lakukan.

Semarang, 2 oktober 2014
Mahindra Suryaning Praja
Mahasiswa UDINUS jurusan Teknik Informatika

0 comments:

Post a Comment