Sunday 26 February 2017

0 Bila esok ku tiada

Bila esok ku tiada


Ya Allah.., Ya Rabb..,
Aku mensyukuri atas segala yang telah kau beri dalam hidupku..,
Engkau masih memberiku nafas dan kesempatan untukKu..,

Aku telah jauh melupakanmu karena duniaku..,
Aku telah melangkah jauh dari dekapanmu..,
Aku terlena akan dunia yang sementara..,

Aku terlupa akan pemilik hidup dan matiku..,
Engkau yang selalu ada dalam setiap nafasku..,
Engkau yang selalu setia menemani di dalam hidup ini..,
Dan ku yakin Engkau tak pernah beranjak pergi dariku..,
Engkau selalu menolong dalam setiap keadaanku..,
Bahkan kau tetap menuntunku kala ku terlupa..,

Ya Allah.., Ya Rabb...,
Kini tubuhku lemah tak berdaya..,
Kini ku sangat mengingatmu dalam setiap hela nafasku..,

Ya Allah.., Aku mengkhawatirkan hidupku..,
Aku mulai takut akan keadaanku..,
Aku yang telah melangkah jauh darimu..,
Aku yang telah ikuti semua hawa nafsuku..,
Semua menjadikanku takut akan hukumanmu..,

Aku tak berdaya ketika ragaku terbaring lemah..,
Aku rasakan sakit dan ketakutan yang mendalam..,
Aku mulai menyadari bahwa hidupku tkan abadi..,
Hanya di sisimu tempatku akan kembali..,

Ya Allah..,
Bila mata ini tkan dapat terbuka esok pagi..,
Bila nafasku tak bisa ku hirup kembali..,
Semoga Engkau mengampuni segala dosa hambaMu ini..,

Tapi, bila esok Engkau mengijinkan aku untuk memperbaiki diri..,
Semoga kesadaran hati kan selalu ada dalam hati ini..,

Aku mempercayai semua takdirMu..,
Aku tak pernah ragu atas kuasaMu..,
Ku gantungkan semua pengharapan dan doaKu kepadaMu..,
Karena ku tau rencanaMu akan lebih indah dari keinginanku..,
Karena Engkau yang memiliki ragaku,
Hidupku.., juga matiku...,

Ampuni hambaMu yang berlumur dosa..,
Ijinkan sujudku menjadi tasbih dalam setiap Doa..,
Berikan Cahaya terangmu dalam setiap gelapku..,
Karena tanpamu hidupku tak berarti apa-apa..,

Sunday 22 January 2017

0 NASEHAT SANG KIAI KEPADA SANTRI-SANTRINYA Oleh : Emha Ainun Najib

NASEHAT SANG KIAI KEPADA SANTRI-SANTRINYA Oleh : Emha Ainun Najib 






“Aku akan segera bergabung dengan masa silam alias akan dipanggil oleh Tuhan”, kata seorang kiai di suatu sore kepada santri-santrinya. “Aku akan segera berlalu, masaku akan segera dikuburkan. Kamu sekalian para santri sekarang mulai menapaki masa peralihan dan anak-anakmu akan menjadi penghuni jaman baru yang dahsyat dan mengagumkan sesudah orde yang sekarang”. “Sami’na wa ‘atho’na..”, kata para santri dengan penuh ta’dzim. “Hamba mohon wahai pak kiai tancapkanlah cahaya yang menerangi cakrawala hamba jalani”. Sang kiai terkekeh-kekeh. “Bahasa dan tata prilakumu semacam itu adalah bahasa generasiku. Sehingga besok akan terkubur bersamaku dan bahasamu yang bisa dikenal oleh masyarakat adalah bahasa Rap, bahasa extacy, dan bahasa-bahasa yang makin tidak mengenal sopan santun. Hei berlatihlah untuk meninggalkan upacara dan sopan santun yang barbagai dan bertele-tele semacam itu. Kemudian mulailah satu cara hidup yang praktis, yang prakmatis, yang efektif dan efisien. Kemudian karena engkau adalah bapak dari anak-anakmu kelak, dan cara hidup baru itulah modal utama yang engkau ajarkan kepada anak-anakmu, agar mereka sanggup berlari seirama dengan jaman yang mereka jalani. Cara hidupmu yang bertele-tele jangan engkau warisi dan jangan engkau wariskan kepada generasi dibawahmu agar mereka tidak digilas oleh buldoser oleh suatu makhluq baru yang esok lusa akan lahir semakin banyak lagi”. Si santri bertanya, “Apa nama makhluq baru itu pak kiai..?” Sang Kiai menjawab, “namanya Al Khonglomeraat..”. “Makhluq apa itu gerangan pak kiai..?!”. “al khonglomeratu kabirun jiddan.. tubuhnya sangat besar.. salah satu kakinya di pantai teluk jakarta, kaki lainnya di gunung sebelah selatan Surakarta”. “Pak kiai.. itu pasti semacam Gatot Koco yang berotot kawat bertulang besi..”. “Bukan anakku, otot mereka bukan kawat dan balung mereka bukan besi tapi otot mereka adalah jalan-jalan tol, tulang-tulang mereka adalah cor-cor besi gedung-gedung pencakar langit”. “Jadi kalau begitu mereka sangat kuat ya kiai..”. “Sangat-sangat kuat.. maka katakan pada saudara-saudaramu dan anak-anakmu jangan berusaha sekali-kali melawan mereka kalau belum sungguh-sungguh menghitung kekuatan sendiri”. “Pak kiai, persisnya berapa kuat makhluq bernama khonglomerat itu..?”. “Hampir tak tebayangkan karena dia sanggup mengalahkan dengan mudah semua pendekar-pendekar ulung. Apalagi sekedar bernama gubenur atau mentri. Kalau sekedar bupati atau setingkat hanya dijadikan slilit-slilit kecil disela-sela giginya. Bahkan ada pimpinan-pimpinan didaerah seperti itu yang memaksakan sebuah proyek harus segera dilaksanakan karena dia dipindahkan dari jabatannya dan harus mendapatkan bonus dari proyek yang dikerjakannya itu”. “Ajaib ya pak kiai..!!”. “Ya, ajaib.. kalau konglomerat meludah, setetes air liurnya menjadi sepuluh ton supermie. Kalau dia bersin riaknya menjadi miliayaran virus-virus. kalau batuk jadi apa..? Kalau batuk jadi mall.. supermarket dan plaza-plaza..”. “Luar biasa kiai..! kalau begitu makan mereka itu apa sehari-hari..?”. “Makanan mereka adalah sejenis jajan yang bernama Rakyat Kecil”. “Kalau demikian..”, kata si santri, “Akan aku ajarkan pada anak-anakku ilmu binatang”. “Lho.. apa maksudmu dengan ilmu binatang?”, tukas pak kiai. “Ilmu keserakahan yai…”. “Darimana kamu memperoleh ilmu bahwa ilmu keserakahan adalah milik binatang?”. “Lho, pak kiai gimana, sudah menjadi pengetahuan umum sepanjang jaman bahwa yang dimaksud kebinatangan adalah kerakusan, kebencian dan kebiadaban”. Sang kiai tertawa terbahak-bahak, “Kiai mana yang ilmunya sesat seperti itu..?? Tidak ada binatang yang rakus itu.. tidak ada.. binatang itu selalu berhenti makan kalau sudah kenyang. Tidak ada binatang yang sudah kenyang masih terus makan. Manusialah yang terus makan meskipun sudah kenyang.. Manusialah yang tidak pernah merasa cukup meskipun sudah memiliki ribuan perusahaan. Manusialah dan bukan binatang yang tetap merasa kurang meskipun ditangannya sudah tergenggam seratus milyar, meskipun sahamnya sudah berekspansi sampai kehutan-hutan dan dasar lautan maupun gunung-gunung disebelah wetan”. “Manusialah..”, kata pak kiai, “..yang meskipun telah dia kuasai harta yang bisa dipakai untuk membeli 10 kota besar berpendapat bahwa yang ia jalani adalah pola hidup sederhana!. Kalau 10 ekor semut bergotong-royong mengangkut sejumput gula, mereka tidak akan menoleh meskipun disekitarnya tergeletak sejumput gula yang lain. Tapi kalau manusia… manusialah yang selalu sangat sibuk mengisi ususnya dengan penguasaan industri makanan dan kosmetik, industri otomotif, properti bahkan industri manipulasi atas Pancasila dan Kitab Suci”.

Friday 28 October 2016

0 rasa



Saat manusia dikendalikan oleh rasa laparnya, maka cinta kasih sayang perlahan sirna dari dalam dirinya.
Saat manusia dikendalikan nafsu birahinya, maka rasa lapar pun bisa hilang dari dirinya.
Saat manusia dikendalikan oleh harta dan kekuasaan, maka kebijaksanaan bisa lenyap dari dalam dirinya.
Saat manusia dikendalikan oleh salah satu chakra/pusat energi dalam badannya maka chakra yang lain akan bekerja kurang optimal. Saat salah satu lapisan Kesadaran manusia mengendalikan si manusia maka lapisan kesadaran yang lain akan berkurang kinerjanya.
Saat jiwa manusia masih dikendalikan oleh rasa yang ada dalam dirinya maka dia belum bisa bebas dari mekanisme badan, pikiran, energi, aura, chakra dan segala hal yang secara alami ada dalam diri manusia. "Atmano mokshartham jagat hitaya cha" pun hanya akan menjadi khayalan belaka.
Tahap awal untuk "bebas" atau "moksha saat masih berbadan manusia" adalah dengan menyadari bahwa " aku bukanlah badan, bukan pula panca indera, bukan pikiran, bukan energi, bukan pula rasa, bukan ego, bukan pula yang menyebabkan ego, aku adalah kesadaran murni, kebahagiaan yang kekal abadi, itulah aku." Tahap selanjutnya, tidak terjelaskan oleh pikiran dan kata-kata, karena pikiran dan kata-kata masih berada dalam kendali Sang Maya (Ilusi Alam Semesta).

Thursday 20 October 2016

0 reinkarnasi



Selama manusia masih memiliki sifat egois, maunya menang sendiri, maka hampir bisa dipastikan bahwa jiwa-nya akan menjadi pelanggan setia Planet Bumi, akan mati dan lahir lagi di Bumi berulang-kali karena terjerat hukum karma pahala dan proses reinkarnasi. Meskipun pikiran sadarnya berpikir tentang moksha lepas dari keterikatan dunia, tapi pikiran bawah sadar yang penuh ego akan mengikuti hukum Alam yang berlaku di Bumi untuk lahir kembali.
Kekuatan pikiran bawah sadar adalah 9 kali pikiran Sadar. Bahkan Kehidupan yang manusia jalani 99% ditentukan oleh pikiran bawah sadar-nya. Karena itu Para Bijak sejak jaman dahulu kala berusaha untuk mahami dan mengutak-atik pikiran bawah sadar untuk kelangsungan evolusi jiwa manusia. Berbagai metode pun ditemukan. Ada meditasi, sembah-Hyang, yoga, hipnoterapi dan semacamnya untuk memperbaiki kualitas dan isi Alam Bawah Sadar manusia.
Reinkarnasi akan terus berulang sampai dia sadar akan hukum karmapahala dan berusaha dengan sadar merubah pola kehidupan-nya sehingga jiwa-nya bisa lepas dari gravitasi Bumi.
Suka mengkritik tapi tidak suka dikritik.
Suka bicara tapi tidak suka mendengarkan.
Suka mengajar tapi tidak mau dihajar.
Suka mengorbankan mahluk lain tapi tidak mau menjadi korban.
Suka marah-marah ke orang tapi tidak terima dimarahin.
Kondisi seperti itu yang akan membuat jiwa memiliki "hutang karmapahala" sehingga jiwa harus lahir lagi ke Bumi untuk "bayar hutang".

Sunday 16 October 2016

0 lirik pamitan dan artinya



Lilanono pamit mulih
<relakanlah pamit pulang>

Mesti kulo yen dede jodone 
<memang aku bukanlah jodohnya>

Mugo enggal antuk sulih
 <semoga segera mendapatkan gantinya>

Wong sing biso ngladeni slirane 
<seorang yang bisa melayaninya>

Pancen abot jroning ati
 <memang berat dalam hati>

Ninggal ndiko wong sing tak tresnani
 <meninggalkan dikau yang kucintai>

Nanging bade kados pundi 
<tapi bagaimana lagi>

Yen kawulo sak dremo nglampahi 
<jika aku harus menjalani>

reff : 
Mung semene hatur puji karyo raharjo
 <sekiranya puja-puji semoga bahagia>

Sak pungkure ojo lali asring kirim warto 
<setelahnya kuharapkan jangan lupa sering kirim kabar>

Eman eman mbenjang ndiko
 <sungguh sayang nantinya>

Yen to nganti digawe kuciwo 
<jika dikau dirundung kecewa>

Batin kulo mboten lilo
 <rasa hatiku tak rela>

Yen to nganti mung di sio sio 
<jika hanya disia-siakan>




Friday 23 September 2016

0 MENIKAH : SENI MENGALAH

MENIKAH : SENI MENGALAH


Beberapa pekan jelang menikah, saya yang kala itu masih berusia 22 tahun, meguru pada ibu. Apa yang perlu dilakukan agar pernikahan berjalan damai?
Ibu menjawab tanpa berpikir panjang. Seolah pertanyaan yang saya ajukan se sepele resep sayur lodeh.
“Nikah ki yo anggere wani ngalah..” (Nikah itu pokoknya berani mengalah)
Dua kata yang menggedor batin saya: BERANI dan MENGALAH
Kata BERANI biasanya disandingkan dengan hal yang berat, bahkan horor. “Berani mati” misalnya. Tapi ibu menyandingkan kata itu dengan MENGALAH. Saya mulai memahaminya sebagai tugas berat, yang tidak semua orang mau dan mampu menjalankannya.
Mengalah
Dan ini yang pada akhirnya saya jumpai, lalu saya pelajari dari lelaki yang sejak 18 tahun lalu saya dapati memiliki kepribadian baik.
Saat pernikahan masih serba kekurangan, dia akan lebih dulu mengambil piring plastik agar saya bisa menggunakan piring beling.
Saat anak belum lulus toilet training, dia yang akan bangun di tengah malam untuk menatur si kecil, padahal yang anak panggil saat itu adalah ibunya.
Saat makan di luar, dia akan makan dengan terburu-buru agar bisa cepat bergantian menggendong si kecil. Demi kuah bakso di mangkok saya tidak keburu dingin.
Saat mendapati satu bacaan yang menarik, dan saya tertarik, dia akan mengangsurkan bacaan itu. “Bacalah lebih dulu. Aku sudah selesai”
Saat memasak dan jumlah masakan itu terbatas. Bukan saya yang menyisihkan untuk bagiannya, tapi dia yang akan mengambilkan lebih dulu untuk saya, dalam jumlah yang lebih banyak darinya. “Aku sudah kenyang..” dan saya tahu itu bohong.
Saat ada sepotong roti, dia akan membaginya tidak sama besar. Tapi saya yang lebih besar. “Kamu kan menyusui. Butuh lebih banyak kalori..” dan kami akan berdebat panjang, lalu diakhiri dengan saya tidak akan memakan bagian yang besar itu sampai dia tarik kembali agar beratnya sepadan.
Saat saya akan memakai kamar mandi belakang (yang ukurannya lebih kecil dari kamar mandi depan) dia yang sedang berada di kamar mandi depan segera keluar dan meminta saya menempatinya. “Aku di belakang aja. Nanti kamu kaget kalau banyak kecoa..”
Saat saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal, dia yang mendekat, mengangsurkan tangan dan meminta maaf. Padahal masalah sebenarnya pun belum terang ia cerna.
Ini akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta
Entah bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan tidak pula berdendang “Mengapa s’lalu aku yang mengalah..”
Enteng saja dia menjalani itu. Ikhlas saja. Senang-senang saja. Tapi dampaknya sangat besar buat saya.
Apa itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.
Untuk segi kematangan emosional, saya tertatih-tatih di belakangnya. Marah dan mau menang sendiri, selalu menjadi bagian saya.
Tapi sikap ngalah yang dia tunjukkan, lambat laun jadi mematangkan emosi itu. Sekaligus membuat saya juga jadi ingin mengalah. Ngalah untuk tidak memancing sikap ngalahnya, yang saya rasa sudah berlebihan dia beri pada saya.
Ya..ya.. pernikahan memang selaiknya menjadi hubungan yang take and give. Saling memberi saling menerima. Saling menutupi dan memahami.
Tentu jika hanya satu pihak saja yang terus mengalah, dan pihak yang lain memanfaatkan sikap ngalah itu, kedamaian hanya jadi angan. Karena pasti ada bom waktu di balik sikap ngalah itu.
Namun mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangan. Dan pasangan yang baik (baca: tahu diri) pasti akan menyambut sikap ngalah ini dengan suka cita, kesyukuran, lalu menghargai usaha dari pasangannya.
Mungkin ini yang membuat ibu menjawab “ngalah” sebagai kunci kedamaian berumah tangga.

******************************************************************************************************************************************************************
Dan kini saya pun bertanya padanya, si lelaki pengalah itu. “Mengapa kamu selalu mengalah padaku?”
Jawabannya sederhana saja. Se-sederhana resep sayur lodeh:
“Aku tidak pernah merasa ngalah. Yang aku lakukan hanyalah menjaga agar kita tidak pernah terpecah belah..”
Untukmu yang berani mengalah,
Saya copas dari tulisannya Mbak Wulan Darmanto
******************************************************************************************************************************************************************



Thursday 15 September 2016

0 Rasa Kecewa



Hati sedang kecewa dan terluka? Hati sedang sangat lemah? Tidak tenang? 
Didalam dunia ini, tiada siapa yang mau merasa kecewa dan terluka. Dan menjadi lemah akibat daripada permainan perasaan ini. Merasa lemah dan tidak tenang sehinggakan air mata ingin sekali untuk menitis setiap waktu. 
Namun bukan semua masalah kekecewaan berlaku kerana percintaan & masalah jodoh saja. Ada juga yang kecewa mungkin kerana perkara lain. 
Boleh jadi akibat terluka dengan tindakan ibu bapa. Malah, mungkin juga berkecil hati dengan sikap anak – anak kita, saudara kita, teman teman kita dll. 
Lalu Dari mana sih Rasa kekecewaan ini muncul?  
Manusia tercipta sebagai "Jembatan Penghubung" bagi manusia lainnya juga alam semesta di sekitarnya sebagai sarana ibadah pada SANG PENCIPTA.
Tapi “Jembatan Penghubung” itu  kadang di kuasai egoisme(ke akuan). Maka tdk heran apabila pandangan kita thd orang lain juga terbungkus sifat keegoisan ini. Titik tolaknya adalah perasaan untung rugi. 
Org lain yg menguntungkan dirinya tentu di pandang sebagai orang baik, sebaliknya yg merugikan dirinya tentu di pandang orang jahat. 
Keuntungan dan kerugian ini dalam arti yg luas baik, baik secara lahir atau bathin.
 Beginalah seharusnya seorang istri atau suami bersikap pada pasangannya. 
 Dalam pikiran kita tertanam begininalah seharusnya seseorang itu bersikap. 
Seorang orang tua beginilah idealnya bersikap pada anaknya. 
Beginilah seorang atasan pada bawahannya. 
Beginilah seorang teman pada kita. 
Beginilah seharusnya seorang anak pada ortunya. 
Beginilah seharusnya seorang senior bersikap pada junior atau Junior pada seniornya.
Dalam alam bawah sadar kita munculah kalimat seperti 
Jadi seharusnya begini.....! 
jadi seharusnya begitu.....! 
baiknya begini......! 
baiknya begitu.....! 
tetapi kenyataan terjadi tidaklah sama 
kok jadi seperti ini...! 
kok jadi seperti itu....!  
Nah benturan antara kenyataan dan keinginan lahirlah kekecewaan. 
Memaksa agar orang atau keadaan orang lain bersikap atau keadaan sesuai dengan keinginan inilah sumber kekecewaan.  
Rasa kecewa sebenarnya sumbernya bukanlah karena sikap orang lain pada kita. Tapi sebenarnya dari diri kita sendiri. Permainan pikiran kita sendiri. 
Sumbernya dari Keinginan dan Harapan sendiri. Keinginan agar seseorang dan keadaan sesuai dengan apa yg kita inginkan dan Harapkan. Sehingga kita berharap seseorang itu seharusnya berpikir, bertindak, berucap, bersikap sesuai alur pikiran kita.  
 Jikalau kecewa ini datangnya sendirian, mungkin efeknya tidak begitu besar, tapi terkadang kecewa ini datangnya membawa sekelompok teman temannya yg cukup berarti ikut membuat orang yg disinggahi menjadi pesakitan yg sangat menderita, pertanyaannya siapa teman teman dari kecewa ini ?
Rasa sedih, rasa benci, kemarahan, rasa tidak berguna lagi, rasa tidak diperhatikan lagi, rasa hidup sendiri, kekesalan/kedongkolan dan lain lainnya, masih banyak lagi dan yg paling parah dari teman kecewa ini adalah rasa putus asa.
Umumnya orang yg disinggahi kecewa ini hanya terfokus pada penyebabnya saja, sehingga dia lupa dg efek yg ditimbulkannya.
Ya…hanya fokus pada penyebab.
Sebagai contoh penyebab kecewa  dikhianati. 
Penyebabnya pasangan kita berpaling, subyeknya pasangan kita.
Ya. Dia yg anda pikirkan terus, karena dia berkhianat maka anda menderita, maka teman teman dari kecewa mulai berdatangan, marah, benci, kesal, dongkol, sedih dan lan lain, dengan datangnya teman temannya ini maka pesta makin meriah di dalam hati si pesakitan, kalau hal ini di biarkan berlanjut, dampaknya akan semakin buruk.
 Tapi kita sebagai insan manusia yg dibekali akal, hati nurani dan pikiran dan juga iman.
Apakah kita harus kalah dg kecewa ini? 
Pilihan ada pada tangan kita, hidup jelas merupakan pilihan, dan agar pilihan ini tidak salah maka diperlukan KESADARAN dalam menyikapinya, apa kesadaran itu ?
Yaitu bila kita sudah bisa membuang kacamata untung rugi, benar salah.
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.”( QS: Al-Israa’:83) 
hingga kita bisa FORGET AND FORGIVE, 
Artinya segera lupakan penyebab dari kecewa, hingga kita bisa melangkah tahap selanjutnya forgive, artinya maafkan, bukan berarti hanya memaafkan dari peyebab timbulnya kecewa, tapi yg terpenting maafkan diri dan hati sendiri, atas kesalahan menilai dari kekecewaan ini, ya persepsi yg salah terhadap kecewa yg kebanyakan menilai sebagai lawan bukan kawan, dan proses memaafkan diri sendiri ini tidaklah mudah pada sebagian orang, diperlukan kesadaran dan keberanian yg sangat besar untuk dapat melakukannya. 
Dengan Memaafkan,berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati menjadi sembuh. "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)
 Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik.   Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura [42]: 40).