Friday 23 September 2016

0 MENIKAH : SENI MENGALAH

MENIKAH : SENI MENGALAH


Beberapa pekan jelang menikah, saya yang kala itu masih berusia 22 tahun, meguru pada ibu. Apa yang perlu dilakukan agar pernikahan berjalan damai?
Ibu menjawab tanpa berpikir panjang. Seolah pertanyaan yang saya ajukan se sepele resep sayur lodeh.
“Nikah ki yo anggere wani ngalah..” (Nikah itu pokoknya berani mengalah)
Dua kata yang menggedor batin saya: BERANI dan MENGALAH
Kata BERANI biasanya disandingkan dengan hal yang berat, bahkan horor. “Berani mati” misalnya. Tapi ibu menyandingkan kata itu dengan MENGALAH. Saya mulai memahaminya sebagai tugas berat, yang tidak semua orang mau dan mampu menjalankannya.
Mengalah
Dan ini yang pada akhirnya saya jumpai, lalu saya pelajari dari lelaki yang sejak 18 tahun lalu saya dapati memiliki kepribadian baik.
Saat pernikahan masih serba kekurangan, dia akan lebih dulu mengambil piring plastik agar saya bisa menggunakan piring beling.
Saat anak belum lulus toilet training, dia yang akan bangun di tengah malam untuk menatur si kecil, padahal yang anak panggil saat itu adalah ibunya.
Saat makan di luar, dia akan makan dengan terburu-buru agar bisa cepat bergantian menggendong si kecil. Demi kuah bakso di mangkok saya tidak keburu dingin.
Saat mendapati satu bacaan yang menarik, dan saya tertarik, dia akan mengangsurkan bacaan itu. “Bacalah lebih dulu. Aku sudah selesai”
Saat memasak dan jumlah masakan itu terbatas. Bukan saya yang menyisihkan untuk bagiannya, tapi dia yang akan mengambilkan lebih dulu untuk saya, dalam jumlah yang lebih banyak darinya. “Aku sudah kenyang..” dan saya tahu itu bohong.
Saat ada sepotong roti, dia akan membaginya tidak sama besar. Tapi saya yang lebih besar. “Kamu kan menyusui. Butuh lebih banyak kalori..” dan kami akan berdebat panjang, lalu diakhiri dengan saya tidak akan memakan bagian yang besar itu sampai dia tarik kembali agar beratnya sepadan.
Saat saya akan memakai kamar mandi belakang (yang ukurannya lebih kecil dari kamar mandi depan) dia yang sedang berada di kamar mandi depan segera keluar dan meminta saya menempatinya. “Aku di belakang aja. Nanti kamu kaget kalau banyak kecoa..”
Saat saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal, dia yang mendekat, mengangsurkan tangan dan meminta maaf. Padahal masalah sebenarnya pun belum terang ia cerna.
Ini akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta
Entah bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan tidak pula berdendang “Mengapa s’lalu aku yang mengalah..”
Enteng saja dia menjalani itu. Ikhlas saja. Senang-senang saja. Tapi dampaknya sangat besar buat saya.
Apa itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.
Untuk segi kematangan emosional, saya tertatih-tatih di belakangnya. Marah dan mau menang sendiri, selalu menjadi bagian saya.
Tapi sikap ngalah yang dia tunjukkan, lambat laun jadi mematangkan emosi itu. Sekaligus membuat saya juga jadi ingin mengalah. Ngalah untuk tidak memancing sikap ngalahnya, yang saya rasa sudah berlebihan dia beri pada saya.
Ya..ya.. pernikahan memang selaiknya menjadi hubungan yang take and give. Saling memberi saling menerima. Saling menutupi dan memahami.
Tentu jika hanya satu pihak saja yang terus mengalah, dan pihak yang lain memanfaatkan sikap ngalah itu, kedamaian hanya jadi angan. Karena pasti ada bom waktu di balik sikap ngalah itu.
Namun mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangan. Dan pasangan yang baik (baca: tahu diri) pasti akan menyambut sikap ngalah ini dengan suka cita, kesyukuran, lalu menghargai usaha dari pasangannya.
Mungkin ini yang membuat ibu menjawab “ngalah” sebagai kunci kedamaian berumah tangga.

******************************************************************************************************************************************************************
Dan kini saya pun bertanya padanya, si lelaki pengalah itu. “Mengapa kamu selalu mengalah padaku?”
Jawabannya sederhana saja. Se-sederhana resep sayur lodeh:
“Aku tidak pernah merasa ngalah. Yang aku lakukan hanyalah menjaga agar kita tidak pernah terpecah belah..”
Untukmu yang berani mengalah,
Saya copas dari tulisannya Mbak Wulan Darmanto
******************************************************************************************************************************************************************



Thursday 15 September 2016

0 Rasa Kecewa



Hati sedang kecewa dan terluka? Hati sedang sangat lemah? Tidak tenang? 
Didalam dunia ini, tiada siapa yang mau merasa kecewa dan terluka. Dan menjadi lemah akibat daripada permainan perasaan ini. Merasa lemah dan tidak tenang sehinggakan air mata ingin sekali untuk menitis setiap waktu. 
Namun bukan semua masalah kekecewaan berlaku kerana percintaan & masalah jodoh saja. Ada juga yang kecewa mungkin kerana perkara lain. 
Boleh jadi akibat terluka dengan tindakan ibu bapa. Malah, mungkin juga berkecil hati dengan sikap anak – anak kita, saudara kita, teman teman kita dll. 
Lalu Dari mana sih Rasa kekecewaan ini muncul?  
Manusia tercipta sebagai "Jembatan Penghubung" bagi manusia lainnya juga alam semesta di sekitarnya sebagai sarana ibadah pada SANG PENCIPTA.
Tapi “Jembatan Penghubung” itu  kadang di kuasai egoisme(ke akuan). Maka tdk heran apabila pandangan kita thd orang lain juga terbungkus sifat keegoisan ini. Titik tolaknya adalah perasaan untung rugi. 
Org lain yg menguntungkan dirinya tentu di pandang sebagai orang baik, sebaliknya yg merugikan dirinya tentu di pandang orang jahat. 
Keuntungan dan kerugian ini dalam arti yg luas baik, baik secara lahir atau bathin.
 Beginalah seharusnya seorang istri atau suami bersikap pada pasangannya. 
 Dalam pikiran kita tertanam begininalah seharusnya seseorang itu bersikap. 
Seorang orang tua beginilah idealnya bersikap pada anaknya. 
Beginilah seorang atasan pada bawahannya. 
Beginilah seorang teman pada kita. 
Beginilah seharusnya seorang anak pada ortunya. 
Beginilah seharusnya seorang senior bersikap pada junior atau Junior pada seniornya.
Dalam alam bawah sadar kita munculah kalimat seperti 
Jadi seharusnya begini.....! 
jadi seharusnya begitu.....! 
baiknya begini......! 
baiknya begitu.....! 
tetapi kenyataan terjadi tidaklah sama 
kok jadi seperti ini...! 
kok jadi seperti itu....!  
Nah benturan antara kenyataan dan keinginan lahirlah kekecewaan. 
Memaksa agar orang atau keadaan orang lain bersikap atau keadaan sesuai dengan keinginan inilah sumber kekecewaan.  
Rasa kecewa sebenarnya sumbernya bukanlah karena sikap orang lain pada kita. Tapi sebenarnya dari diri kita sendiri. Permainan pikiran kita sendiri. 
Sumbernya dari Keinginan dan Harapan sendiri. Keinginan agar seseorang dan keadaan sesuai dengan apa yg kita inginkan dan Harapkan. Sehingga kita berharap seseorang itu seharusnya berpikir, bertindak, berucap, bersikap sesuai alur pikiran kita.  
 Jikalau kecewa ini datangnya sendirian, mungkin efeknya tidak begitu besar, tapi terkadang kecewa ini datangnya membawa sekelompok teman temannya yg cukup berarti ikut membuat orang yg disinggahi menjadi pesakitan yg sangat menderita, pertanyaannya siapa teman teman dari kecewa ini ?
Rasa sedih, rasa benci, kemarahan, rasa tidak berguna lagi, rasa tidak diperhatikan lagi, rasa hidup sendiri, kekesalan/kedongkolan dan lain lainnya, masih banyak lagi dan yg paling parah dari teman kecewa ini adalah rasa putus asa.
Umumnya orang yg disinggahi kecewa ini hanya terfokus pada penyebabnya saja, sehingga dia lupa dg efek yg ditimbulkannya.
Ya…hanya fokus pada penyebab.
Sebagai contoh penyebab kecewa  dikhianati. 
Penyebabnya pasangan kita berpaling, subyeknya pasangan kita.
Ya. Dia yg anda pikirkan terus, karena dia berkhianat maka anda menderita, maka teman teman dari kecewa mulai berdatangan, marah, benci, kesal, dongkol, sedih dan lan lain, dengan datangnya teman temannya ini maka pesta makin meriah di dalam hati si pesakitan, kalau hal ini di biarkan berlanjut, dampaknya akan semakin buruk.
 Tapi kita sebagai insan manusia yg dibekali akal, hati nurani dan pikiran dan juga iman.
Apakah kita harus kalah dg kecewa ini? 
Pilihan ada pada tangan kita, hidup jelas merupakan pilihan, dan agar pilihan ini tidak salah maka diperlukan KESADARAN dalam menyikapinya, apa kesadaran itu ?
Yaitu bila kita sudah bisa membuang kacamata untung rugi, benar salah.
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.”( QS: Al-Israa’:83) 
hingga kita bisa FORGET AND FORGIVE, 
Artinya segera lupakan penyebab dari kecewa, hingga kita bisa melangkah tahap selanjutnya forgive, artinya maafkan, bukan berarti hanya memaafkan dari peyebab timbulnya kecewa, tapi yg terpenting maafkan diri dan hati sendiri, atas kesalahan menilai dari kekecewaan ini, ya persepsi yg salah terhadap kecewa yg kebanyakan menilai sebagai lawan bukan kawan, dan proses memaafkan diri sendiri ini tidaklah mudah pada sebagian orang, diperlukan kesadaran dan keberanian yg sangat besar untuk dapat melakukannya. 
Dengan Memaafkan,berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati menjadi sembuh. "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)
 Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik.   Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura [42]: 40).